“Cepeeeet dek, aduh
kok jalannya lambat banget kayak putri aja”
Perkataan itu terus berulang diucapkan kakak tingkat (kating). Aku lari tergopoh-gopoh membawa tas yang isinya udah seperti rumah. Aku menghampiri kating perempuan.
“Kak, sebelum pulang
kita shalat dulu kan?” Tanyaku penuh
harap.
“Lho dek kenapa tadi
belum shalat bareng temannya?”
“Belum ada waktu
disuruh kating shalat kak”
“Iya memang belum rahma”
Kata kating perempuan disebelahnya.
Mereka diam. Lalu berlalu dari hadapanku. Mereka bertanya
pada kating lelaki itu. Iya lelaki itu. Lelaki yang dari awal bertemu saat TM
ospek, yang sama sekali belum berbicara padaku dari kami tatap muka tapi ada
sesuatu yang ‘nyees’ hinggap disini.
“Putra, adik ini belum
shalat, yang lain juga pada belum, gimana?”
“Ya udah kalau gitu shalat dulu aja.”
Alhamdulillah. Aku ada waktu shalat. Aku bergegas secepat mungkin. Jam di tanganku sudah pukul 16.45. Saat aku mau ambil wudhu,
“Ya udah kalau gitu shalat dulu aja.”
Alhamdulillah. Aku ada waktu shalat. Aku bergegas secepat mungkin. Jam di tanganku sudah pukul 16.45. Saat aku mau ambil wudhu,
“Deek, ke bis dulu
aja. Shalatnya nanti aja,nanti kalian kemalaman nyampe bukit ” Teriak kak Putra.
Tersontak aku kaget. Mukaku langsung kusut. Aku beringsut mengambil tas yang kusenderkan di dinding mushola dan menemui kakak itu lagi.
Tersontak aku kaget. Mukaku langsung kusut. Aku beringsut mengambil tas yang kusenderkan di dinding mushola dan menemui kakak itu lagi.
“Memang sempat kami
shalat dibukit kak?”
“Sempat kok, sudah masuk dulu aja.”
“Sempat kok, sudah masuk dulu aja.”
“Hmm kalau Trans Musi
jam segini masih ada kak? Atau Bis gitu? Saya ditinggal aja kak, mau shalat
dulu. Gak papa kok”
“Gak ada adeek, udah pada pulang semua jam segini. Lagian juga banyak bis yang dicharter sama Mahasiswa yang lain, jadi mungkin gak ada lagi. Sudah masuk aja gih.”
Aku memasuki bis. Pikirku jika dari Layo ke Bukit satu jam, mungkin aku bisa shalat ashar disana. Aku masuk bis. Berbicara ceria dengan teman sebelahku sambil menunggu bis ini berjalan. Lima belas menit berlalu. Aku gelisah. Hei bis ini belum jalan dari tadi. Apa yang sebenarnya kami tunggu? Aku menyondongkan kepalaku melihat keluar pintu bis, ternyata ada antrian WC disana. Tiba-tiba air memenuhi kedua mataku. Belum keluar. Hanya seperti mata yang berkaa-kaca. Saat aku mau bertanya lagi “Apakah kami boleh shalat?” , mesin bis nyala. Aku makin gelisah. Aku terduduk di kursi paling belakang bis yang muat lima orang. Tak terasa air mata itu keluar juga.
“Gak ada adeek, udah pada pulang semua jam segini. Lagian juga banyak bis yang dicharter sama Mahasiswa yang lain, jadi mungkin gak ada lagi. Sudah masuk aja gih.”
Aku memasuki bis. Pikirku jika dari Layo ke Bukit satu jam, mungkin aku bisa shalat ashar disana. Aku masuk bis. Berbicara ceria dengan teman sebelahku sambil menunggu bis ini berjalan. Lima belas menit berlalu. Aku gelisah. Hei bis ini belum jalan dari tadi. Apa yang sebenarnya kami tunggu? Aku menyondongkan kepalaku melihat keluar pintu bis, ternyata ada antrian WC disana. Tiba-tiba air memenuhi kedua mataku. Belum keluar. Hanya seperti mata yang berkaa-kaca. Saat aku mau bertanya lagi “Apakah kami boleh shalat?” , mesin bis nyala. Aku makin gelisah. Aku terduduk di kursi paling belakang bis yang muat lima orang. Tak terasa air mata itu keluar juga.
Oh Rabbi bagaimana
kalau-kalau bis ini kecelakaan di tengah jalan dan aku dalam keadaan belum
shalat?
Menganak sungailah air mata ini. Terbitlah semua memori
kenikmatan yang Allah berikan padaku sampai saat ini. Teman disebelahku pun
merasakannya. Bedanya, ia tidak menangis, hanya gelisah. Aku bertanya pada
teman-temanku di bis ‘apakah mereka sudah shalat?’. Jawabanya SUDAH, tapi di
Jamak dengan shalat Zuhur tadi. Aku tetap tidak setuju. Jamak hanya dilakukan
jika jarak perjalanan >80 km sedangkan dari Indralaya ke Bukit hanya 30-an
km.
Mereka berdalih “gak papa kok, daripada gak shalat kan?”
“Bukan masalah mending
shalat apa kagaknya. Ini Fiqh shalat bung. Ada aturan dalam beribadah.”
Teriakku di dalam hati.
Bis itu akhirnya
jalan juga. Pukul 17.00. Kalau saja aku ‘diperbolehkan’ shalat dulu, mungkin
jam segini aku sudah selesai shalat dan bisa tenang di perjalanan, tidak
menangis dan gelisah seperti ini.
“Sudaah Keisha jangan
nangis lagi ya, kita pikirin bareng-bareng gimana jalan keluarnya” hibur teman sebelah kananku, Najwa.
Aku hapus airmataku dengan tissu yang diberikan temanku. Aku
melihat kak Putra berdiri di depan pintu bis. Dia melihat kearah
kursi yang kududuki, baru terisi 4 orang sedangkan satu-satunya yang berdiri
hanya dia didalam bis. Lalu ia menegurku,
“Dek, kakak boleh duduk
disini?”
“Hmm boleh kak, silahkan” Jawabku penuh ragu dan aku berpindah agak menggeser keteman sebelah kananku.
“Hmm boleh kak, silahkan” Jawabku penuh ragu dan aku berpindah agak menggeser keteman sebelah kananku.
Tampaknya kak Putra membaca secara jelas ketidaksukaanku
kalau dia duduk tepat disamping kiriku. Selain itu juga ia mungkin kurang
nyaman jika harus duduk disebelah perempuan jilbab panjang sepertiku. Dia lalu
menegur teman sebelah paling kiriku, namanya Rahmi.
“Adek, boleh kalau
adek (rahmi) duduk dekat adik ini (aku maksudnya) ? Kakak biar duduk diujung ”
“Maaf kak, Rahmi sudah
pw disini. Dekat pintu bis jadi banyak angin hehe” Jawab Rahmi sopan.
“Oh ya sudah kalau gitu, misi ya dek” balas kak Putra.
Rabii, cobaan apa lagi ini? Baru saja aku gelisah setengah
mati kalau-kalau aku tidak sempat shalat di Bukit, tiba tiba lelaki yang buat
aku ‘nyees’ ini duduk di sebelahku, tepat sekali. Sampai-sampai rok ku
bersentuhan dengan celana jeansnya. Oh tidak, entah ini menjadi perjalanan
indah atau justru terburuk yang akan aku alami. Aku meringis didalam hati.
Setengah jam berlalu. Najwa menanyainya beberapa hal. Kak
Putra dan Najwa saling ngobrol dan aku berada tepat ditengahnya. Hanya sebagai
penonton. Aku juga tidak mau angkat bicara karena memang mood ku sedang tidak enak
saat itu, mungkin pengaruh gelisah karena belum shalat. Kak Putra tiba-tiba
menanyai Najwa seperti ini,
“Najwa pulang kemana?”
“Ke Kertapati kak.”
“Jadi nanti langsung
bisa turun yaa karena kan kita ngelewatin”
“Iya memang seharusnya
bisa, tapi kak aku belum ngambil baju ungu fakultas”
“Oh iya ya. Ya sudah
kalau gitu. Kalau adek pulangnya kemana?” Lontaran pertanyaan kak Putra ini buat aku
kaget. Sungguh. Aku yang daritadi dianggap patung akhirnya diajak ngomong.
“Arah bandara kak” Jawabku
singkat.
“Ooo gitu. Oh ya dek
besok-besok kalau mau shalat izin aja langsung sama katingnya ya jam 15.30.
Ntar kalau dak dibolehin katingnya shalat, bilang aja sama kak Putra. Kalau
sampai adek udah izin tapi tetap gak dibolehin, itu benar-benar keterlaluan.
Jangan tunggu kami suruh ya” Balasnya
panjang, tapi ngena dihati. ‘Nyees’ itu makin menjadi, hei kak Putra pasti
muslim yang taat sampai-sampai ia tahu jam shalat Ashar itu tepat 15.30.
“Iya kak” balasku yang (masih saja) pendek. Padahal jujur saat itu aku ingin sekali ngobrol panjang lebar dengannya. Tapi rasa maluku menahanya, aku malu jika harus ngobrol dengan kak Putra. Alhamdulillah rasa malu itu masih ada ternyata.
“Iya kak” balasku yang (masih saja) pendek. Padahal jujur saat itu aku ingin sekali ngobrol panjang lebar dengannya. Tapi rasa maluku menahanya, aku malu jika harus ngobrol dengan kak Putra. Alhamdulillah rasa malu itu masih ada ternyata.
Obrolan kami bertiga, aku, Kak Putra, dan Najwa berhenti.
Kak Putra meraih topi merah dan headshet di dalam tasnya. Ia memakai keduanya,
topinya dibalik. Ia lalu bersender di kursi bis. Ia tertidur. Kepalanya jatuh
bersender dipundak Rahmi dan Rahmi hanya diam saja. Lalu ia tersadar. Dan tidak
berapa lama kemudian, kepalanya jatuh di pundakku. Sontak aku kaget. Sebelum
mengenai kepalaku, badanku kutegapkan. Bagiku sekali prinsip tetap prinsip.
Duduk bersebelahan dengannya karena situasi terjepit bagiku gakpapa, tapi kalau
sudah ‘memberikan’ pundak pada lelaki itu, aku tidak mau. Meskipun itu kak
Putra, ya meskipun itu Kak Putra.
Ia pun terbangun dan sadar bahwa aku risih dengan keadaan
itu. Ia berusaha menegakkan kepalanya bersender lurus di kursi, tidak jatuh
kekiri apalagi ke kanan. Setelah memastikan itu semua, ia tertidur lagi. Aku sebenarnya
bisa menatap wajahnya saat itu. Tapi lagi-lagi naluri ku berkata jangan.
“Hei Keisha, dia bukan
halal untukmu. Tundukin tuh pandangan “
Jam menunjukkan pukul 17.50. Sudah mau habis waktu ashar
tapi masih saja tanda-tanda sampai ke bukit sama sekali belum kelihatan. Yang
aku lihat hanyalah padang padi yang hijau. Tidak ada tanda-tanda mau masuk
kota. Aku mengambil inisiatif, aku memutuskan untuk shalat di dalam bis sambil
duduk dan bertayyamum. Diikuti oleh ketiga temanku. Kak Putra masih saja tidur.
Syukurlah, semoga dia tidak bangun saat aku sedang shalat. Aku takut
menganggunya, dia pasti sangat lelah menjadi panitia ospek ini. Aku bertayyamum
diikuti ketiga temanku dan mencoba mengatur jarak agak sedikit jauh dari Kak
Putra.
Rabbi, maafkan aku
yang shalat dalam keadaan seperti ini. Aku berjanji besok tidak akan aku
ulangi. Terimalah shalat ini.
Sampailah aku pada rakaat ke 4. Saat mau bangkit dari sujud,
kepalaku mengenai sesuatu dibelakang kursiku. Aku sadar punggungku mengenai
kepala Kak Putra yang tidak sengaja jatuh lagi ke kanan. Aku merasa aku sudah
membangunkannya. Tapi aku coba tidak pedulikan dulu. Aku masih punya satu
rakaat yang harus kuselesaikan.
Shalatku akhirnya selesai. Saat aku bertasbih, aku iseng
hanya sekedar menatap tangan kak Putra. Memastikan apa dia bangun saat terkena
punggungku tadi. Tangannya bermain. Jempolnya saling tindih berganti. Tepat, ia
terbangun saat aku menyelesaikan shalat di rakaat keempat. Aku jadi tidak
keenakan. Tapi gakpapalah. Setidaknya itu bisa jadi bahan evaluasi untuk
memberikan waktu shalat ke adik-adiknya, masak sampai setega itu melihat
adiknya shalat di bis yang terus bergoyang? Aku dapat memastikan, selain kak
Putra yang melihatku shalat, empat kating yang duduk didepan juga melihatku
shalat. Dan aku yakin juga, jika memang dia Muslim, hatinya pasti terenyuh.
Alhamdulillah setelah perjalanan panjang, aku tiba dirumah.
Aku rebahkan sebentar badanku yang rasanya hanya tinggal tulang saja. Daging,
lemak beserta air mineral sudah habis terkuras saat ospek tadi.
Setelah aku shalat, aku ingat tugas yang diberikan katingku.
Mencari kakak asuh. Mencari kating yang belakang NIM nya sama dengaku di
angkatan 2011 kampus Paelmbang. Tidak susah aku menemukan kakak asuh ku,
alhamdulillah dia perempuan, berjilbab pula. Namanya kak Oktaviani. Tapi wajah
kakak ini belum pernah aku lihat di deretan panitia yang hadir selama kami
ospek. Langsung terbesit sesuatu entah kenapa aku tiba-tiba kepikiran lelaki
itu. Iya aku kepikiran Kak Putra. Aku ‘iseng’ search nama dia di list Mahasiswa
Kampus Indralaya tahun 2011. Yes Ketemu. Aku langsung mengklik fotonya,
mengetahui identitas aslinya. Aku penasaran dari mana ia berasal.
Aku terpaku di layar monitor. Mataku rasanya ingin keluar.
Hatiku mau meleleh. Mukaku benar-benar heran. Satu kenyataan yang
sampai saat ini belum bisa aku terima ialah ternyata Kak Putra beragama
Protestan. Non Muslim. Aku telah tertipu dengan wajah ke’islam’annya, aku telah
tertipu dengan pengetahuannya yang tahu waktu tepat shalat Ashar, aku tertipu
dengan kebaikan hatinya. Dan hingga saati ini, rasa ‘nyeees’ ini kunamai ‘Rasa
Sesak yang Salah’