Sabtu, 31 Desember 2016

Hujan

"Aku ingin melupakan hujan"

"Apakah kamu yakin? Aku tidak bisa mengatakan bahwa seluruh kenangan burukmu ini menyakitkan.. terkadang bukan melupakan yang menjadi hal tersulitnya, tapi menerima." Sahut Elijah, petugas medis senior tersebut

"Aku sungguh ingin melupakan hal-hal menyakitkan ini." Jawab Lail terisak

"Baiklah kalau begitu. Aku hanya menjalani protokol saja."

Elijah menyentuh tablet setipis HVS di genggamannya dan seketika tabungkapsul keluar dari dinding ruangan tersebut.

Lail. Gadis itu ingin melupakan kejadian 7 tahun yang lalu. Melupakan kejadian gempa bumi yang merenggut kedua orang tuanya. Juga melupakan tentang Esok. Lelaki yang hanya terpaut 2 tahun lebih tua darinya. Lelaki yang menyelamatkannya di lubang kereta waktu itu. Lelaki yang dikirim dari surga menggantikan ayah dan ibunya. Lelaki yang juga sampai saat ini tidak menghubungi dirinya. Kabar tadi pagi jelaslah sudah. Dua tiket yang dipunyai oleh Esok akan diberikan satu pada Claudia, gadis sepantaran dirinya yang menjadi adik angkat Esok.

Beberapa jam lagi Esok sudah berangkat meninggalkan bumi bersama 40 ribu manusia lainnya, juga bersama Claudia.

Maryam sudah berusaha memaksa agar pintu Pusat Terapis itu terbuka. Berteriak sekencang-kencangnya agar Lail tidak menghapus ingatan itu. Namun sia sia saja.
Maryam berfikir bahwa mungkin menelpon Esok adalah pilihan terakhirnya.

Muncul wajah Esok di hologram teleponnya.

"Halo Esok" sapa Maryam panik sembari melihat seperti mengenali tempat dimana Esok berada saat ini.

"Halo Maryam. Apakah Lail bersamamu? Dia pasti terkejut. Aku sudah di stasiun kota. Aku ingin memberi kejutan padanya" sahut Esok dengan riang.

"Bukankah kamu harus berangkat dan berada di dalam kapal itu?" Tanya Maryam

"Tidak, Maryam. Aku menyelesaikan proyek terakhirku dengan membuat klon diriku dan mencopy semua sarafku. Itulah kenapa aku tidak bisa menghubungi Lail. Aku memberikan tiketnya pada Claudia dan juga Ibu ku. Aku yakin Claudia bisa menjaga Ibuku

"Astaga Esok. Lail justru berfikir sebaliknya" ujar Maryam panik.

"Apa maksudmu?" Tanya Esok

"Lail sedang berada di Pusat Terapis Saraf Kota. Dia ingin menghapus ingatannya tentang dirimu"

Esok tidak menjawab. Ia bersegera meluncur menuju Pusat Terapis.

Esok tiba di Pusat Terapis itu. Mengabaikan Maryam yang sudah terpaku berdiri dihadapannya. Esok bisa melewati pintu depan Pusat Terapis itu dengan kartu Lisensi Keamanan Tingkat A yang membuatnya bisa memasuki pintu keamanan apapun. Esok melihat Lail sudah di dalam tabung kapsul itu. Proses penghilangan ingatannya sudah berjalan dan hanya membutuhkan waktu sebentar lagi untuk selesai. Esok memaksa agar menghentikan proses itu sebelum seluruh ingatan dirinya terhapus. Tapi Elijah bersikeras bahwa itu justru akan membahayakan saraf otak Lail.

Proses itu selesai. Lail di bopong keluar oleh Elijah. Esok menghambur di hadapannya..

"Aku mohon Lail. Jangan Lupakan aku. Kamu masih mengingatku kan? Aku mohon maaf Lail. Kesibukan proyek ini sudah membuat aku jarang bersama denganmu Lail. Aku mohon jangan lupakan aku. Bagaimanalah aku bisa tinggal di Bumi jika tidak menghabiskan waktu bersamamu Lail" kata Esok.

Suasana lenggang sejenak..

"Aku yang memberi Topi itu padamu, Esok" senyum Lail sambil menunjuk topi yang dikenakan Esok.

Esok tersenyum lebar. Ternyata ingatan tentang Esok tidak terhapus. Bukan mesin tabung kapsul itu yang salah. Melainkan pada detik detik terakhir saat proses penghilangan ingatan itu, tiba tiba benang merah yang tergambar sebagai ingatan menyakitkan bagi Lail, berubah menjadi warna benang biru di layar tablet Elijah. Pada detik detik terakhir itu pula, Lail berhasil memeluk semua kesakitan itu.. berusaha menerima semuanya. Mesin hanya menghapus benang merah saja dalam ingatan Lail. Sedang benang merah itu sudah tidak ada lagi. Hanya benang biru dan kuning yang terlihat di tablet Elijah.

Dan sebulan kemudian Esok dan Lail menikah.. setidaknya mereka bersama hingga umur Bumi telah habis 10 tahun lagi. Bukan tentang singkatnya waktu hidup, melainkan dengan siapa kita menghabiskan sisa hidup itu.

_Tere Liye_