Jumat, 18 Oktober 2013

Tulisan Reza

"Engkau selalu cantik dimataku. Terlebih saat berjilbab putih itu."

Tersontak aku kaget bukan kepalang. Aku coba mempertahankan posisi tegapku dengan mata yang terus mencari lanjutan kaliamat di surat yang aku baca.

"Kei, maafkan aku yang selalu mencercamu dari pertama kita bertemu. Itu kulakukan semata-mata agar kamu sadar kehadiraku disini. Aku ada disini Kei. Aku sudah kehabisan cara, semua sikap konyol sudah aku tampakkan. Kau tahu, kejahilanku selama ini hanya ingin agar kamu sadar kehadiranku disini. Entahlah, bahkan meskipun semua itu telah aku lakukan, menoleh kehadapanku pun tidak. Hingga akhirnya aku putuskan  bersekongkol dengan mereka untuk memfitnahmu. Aku tidak benci Kei. Harapanku masih sama. Aku hanya ingin kamu sadar aku ada disini. Meski dengan cara gila seperti itu. Tapi syukurlah..."

Lanjutnya "ternyata matamu bisa aku buka dengan cara ini. Aku selalu sedih saat melihatmu terus-menerus mengaharapkan lelaki itu. Bahkan aku tidak bisa membayangkan perasaanmu saat mendengar cerita lelaki yang kamu cintai itu dengan wanita lain. Bangunlah Kei. Lupakanlah dia. Hatimu terlalu suci hanya untuk mengaharapkan dia. Aku ada disini Kei. Aku mencintaimu...."

Aku buka halaman selanjutnya...

"Tidak. Aku tidak memintamu untuk menerima cinta ini. Aku tau, segala fitnah yang aku luncurkan padamu bahkan menyimpan dendam padaku. Maaf.  Hanya itu yang bisa aku lakukan. Engkau baik-baik saja ya di Kota Baru mu nanti."

Yang selalu mencintaimu

Reza

Aku sudah terduduk sempurna di kursi taman sekolah setelah membaca akhir dari suratnya. Mataku mulai mengucurkan airnya. Lebih tepatnya ini bukanlah surat. Reza menulisnya sendiri di Binder ku. Aku menyesal tadi memaki Reza karena telah menyembunyikan binderku. Teman-teman mengerumuni dan berebutan ingin membaca tulisan Reza. Tapi aku tutup. Cukup, tentang perasaan Reza biarlah aku saja yang tau. Satu hal yang baru kusadari saat ini adalah aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, dengan apa yang aku mau, apa yang aku ingin miliki, dan apa yang aku cintai. Lelaki ini, Reza, bahkan dia baru 'serasa' nampak dihadapanku saat dia memfitnahku keji. Aku baru sadar, sikap konyolnya -yang menurutku berlebihan- ternyata punya maksud yang tersembunyi. Sedangkan, si Riadi, lelaki yang selalu aku kejar, justru mencintai wanita lain yang baru saja hadir di kehidupannya. Reza memberiku banyak pelajaran penting. Kita boleh fokus pada satu hal, kita boleh hanya mencintai satu orang. Tapi jangan tutup mata kita dari semua hal tentang itu.