Minggu, 25 Agustus 2013

Rasa Sesak Yang Salah



“Cepeeeet dek, aduh kok jalannya lambat banget kayak putri aja”

Perkataan itu terus berulang diucapkan kakak tingkat (kating). Aku lari tergopoh-gopoh membawa tas yang isinya udah seperti rumah. Aku menghampiri kating perempuan.

“Kak, sebelum pulang kita shalat dulu kan?”  Tanyaku penuh harap.
“Lho dek kenapa tadi belum shalat bareng temannya?”
“Belum ada waktu disuruh kating shalat kak”
“Iya memang belum rahma” Kata kating perempuan disebelahnya.

Mereka diam. Lalu berlalu dari hadapanku. Mereka bertanya pada kating lelaki itu. Iya lelaki itu. Lelaki yang dari awal bertemu saat TM ospek, yang sama sekali belum berbicara padaku dari kami tatap muka tapi ada sesuatu yang ‘nyees’ hinggap disini.

“Putra, adik ini belum shalat, yang lain juga pada belum, gimana?”
“Ya udah kalau gitu shalat dulu aja.”

Alhamdulillah. Aku ada waktu shalat. Aku bergegas secepat mungkin. Jam di tanganku sudah pukul 16.45. Saat aku mau ambil wudhu,

“Deek, ke bis dulu aja. Shalatnya nanti aja,nanti kalian kemalaman nyampe bukit ”  Teriak kak Putra.

Tersontak aku kaget. Mukaku langsung kusut. Aku beringsut mengambil tas yang kusenderkan di dinding mushola dan menemui kakak itu lagi.

“Memang sempat kami shalat dibukit kak?”
“Sempat kok, sudah masuk dulu aja.”
“Hmm kalau Trans Musi jam segini masih ada kak? Atau Bis gitu? Saya ditinggal aja kak, mau shalat dulu. Gak papa kok”
“Gak ada adeek, udah pada pulang semua jam segini. Lagian juga banyak bis yang dicharter sama Mahasiswa yang lain, jadi mungkin gak ada lagi. Sudah masuk aja gih.”

Aku memasuki bis. Pikirku jika dari Layo ke Bukit satu jam, mungkin aku bisa shalat ashar disana. Aku masuk bis. Berbicara ceria dengan teman sebelahku sambil menunggu bis ini berjalan. Lima belas menit berlalu. Aku gelisah. Hei bis ini belum jalan dari tadi. Apa yang sebenarnya kami tunggu? Aku menyondongkan kepalaku melihat keluar pintu bis, ternyata ada antrian WC disana. Tiba-tiba air memenuhi kedua mataku. Belum keluar. Hanya seperti mata yang berkaa-kaca. Saat aku mau bertanya lagi “Apakah kami boleh shalat?” , mesin bis nyala. Aku makin gelisah. Aku terduduk di kursi paling belakang bis yang muat lima orang. Tak terasa air mata itu keluar juga.

Oh Rabbi bagaimana kalau-kalau bis ini kecelakaan di tengah jalan dan aku dalam keadaan belum shalat?

Menganak sungailah air mata ini. Terbitlah semua memori kenikmatan yang Allah berikan padaku sampai saat ini. Teman disebelahku pun merasakannya. Bedanya, ia tidak menangis, hanya gelisah. Aku bertanya pada teman-temanku di bis ‘apakah mereka sudah shalat?’. Jawabanya SUDAH, tapi di Jamak dengan shalat Zuhur tadi. Aku tetap tidak setuju. Jamak hanya dilakukan jika jarak perjalanan >80 km sedangkan dari Indralaya ke Bukit hanya 30-an km.
 Mereka berdalih “gak papa kok, daripada gak shalat kan?”
“Bukan masalah mending shalat apa kagaknya. Ini Fiqh shalat bung. Ada aturan dalam beribadah.” Teriakku di dalam hati.

 Bis itu akhirnya jalan juga. Pukul 17.00. Kalau saja aku ‘diperbolehkan’ shalat dulu, mungkin jam segini aku sudah selesai shalat dan bisa tenang di perjalanan, tidak menangis dan gelisah seperti ini.

“Sudaah Keisha jangan nangis lagi ya, kita pikirin bareng-bareng gimana jalan keluarnya”  hibur teman sebelah kananku, Najwa.

Aku hapus airmataku dengan tissu yang diberikan temanku. Aku melihat kak Putra berdiri di depan pintu bis. Dia melihat kearah kursi yang kududuki, baru terisi 4 orang sedangkan satu-satunya yang berdiri hanya dia didalam bis. Lalu ia menegurku,

“Dek, kakak boleh duduk disini?”
“Hmm boleh kak, silahkan”
Jawabku penuh ragu dan aku berpindah agak menggeser keteman sebelah kananku.

Tampaknya kak Putra membaca secara jelas ketidaksukaanku kalau dia duduk tepat disamping kiriku. Selain itu juga ia mungkin kurang nyaman jika harus duduk disebelah perempuan jilbab panjang sepertiku. Dia lalu menegur teman sebelah paling kiriku, namanya Rahmi.

“Adek, boleh kalau adek (rahmi) duduk dekat adik ini (aku maksudnya) ? Kakak biar duduk diujung ”
“Maaf kak, Rahmi sudah pw disini. Dekat pintu bis jadi banyak angin hehe” Jawab Rahmi sopan.
 “Oh ya sudah kalau gitu, misi ya dek”  balas kak Putra.

Rabii, cobaan apa lagi ini? Baru saja aku gelisah setengah mati kalau-kalau aku tidak sempat shalat di Bukit, tiba tiba lelaki yang buat aku ‘nyees’ ini duduk di sebelahku, tepat sekali. Sampai-sampai rok ku bersentuhan dengan celana jeansnya. Oh tidak, entah ini menjadi perjalanan indah atau justru terburuk yang akan aku alami. Aku meringis didalam hati.


Setengah jam berlalu. Najwa menanyainya beberapa hal. Kak Putra dan Najwa saling ngobrol dan aku berada tepat ditengahnya. Hanya sebagai penonton. Aku juga tidak mau angkat bicara karena memang mood ku sedang tidak enak saat itu, mungkin pengaruh gelisah karena belum shalat. Kak Putra tiba-tiba menanyai Najwa seperti ini,

“Najwa pulang kemana?”
“Ke Kertapati kak.”
“Jadi nanti langsung bisa turun yaa karena kan kita ngelewatin”
“Iya memang seharusnya bisa, tapi kak aku belum ngambil baju ungu fakultas”
“Oh iya ya. Ya sudah kalau gitu. Kalau adek pulangnya kemana?”  Lontaran pertanyaan kak Putra ini buat aku kaget. Sungguh. Aku yang daritadi dianggap patung akhirnya diajak ngomong.
“Arah bandara kak” Jawabku singkat.
“Ooo gitu. Oh ya dek besok-besok kalau mau shalat izin aja langsung sama katingnya ya jam 15.30. Ntar kalau dak dibolehin katingnya shalat, bilang aja sama kak Putra. Kalau sampai adek udah izin tapi tetap gak dibolehin, itu benar-benar keterlaluan. Jangan tunggu kami suruh ya”  Balasnya panjang, tapi ngena dihati. ‘Nyees’ itu makin menjadi, hei kak Putra pasti muslim yang taat sampai-sampai ia tahu jam shalat Ashar itu tepat 15.30.
“Iya kak” balasku yang (masih saja) pendek. Padahal jujur saat itu aku ingin sekali ngobrol panjang lebar dengannya. Tapi rasa maluku menahanya, aku malu jika harus ngobrol dengan kak Putra. Alhamdulillah rasa malu itu masih ada ternyata.

Obrolan kami bertiga, aku, Kak Putra, dan Najwa berhenti. Kak Putra meraih topi merah dan headshet di dalam tasnya. Ia memakai keduanya, topinya dibalik. Ia lalu bersender di kursi bis. Ia tertidur. Kepalanya jatuh bersender dipundak Rahmi dan Rahmi hanya diam saja. Lalu ia tersadar. Dan tidak berapa lama kemudian, kepalanya jatuh di pundakku. Sontak aku kaget. Sebelum mengenai kepalaku, badanku kutegapkan. Bagiku sekali prinsip tetap prinsip. Duduk bersebelahan dengannya karena situasi terjepit bagiku gakpapa, tapi kalau sudah ‘memberikan’ pundak pada lelaki itu, aku tidak mau. Meskipun itu kak Putra, ya meskipun itu Kak Putra.

Ia pun terbangun dan sadar bahwa aku risih dengan keadaan itu. Ia berusaha menegakkan kepalanya bersender lurus di kursi, tidak jatuh kekiri apalagi ke kanan. Setelah memastikan itu semua, ia tertidur lagi. Aku sebenarnya bisa menatap wajahnya saat itu. Tapi lagi-lagi naluri ku berkata jangan.
“Hei Keisha, dia bukan halal untukmu. Tundukin tuh pandangan “

Jam menunjukkan pukul 17.50. Sudah mau habis waktu ashar tapi masih saja tanda-tanda sampai ke bukit sama sekali belum kelihatan. Yang aku lihat hanyalah padang padi yang hijau. Tidak ada tanda-tanda mau masuk kota. Aku mengambil inisiatif, aku memutuskan untuk shalat di dalam bis sambil duduk dan bertayyamum. Diikuti oleh ketiga temanku. Kak Putra masih saja tidur. Syukurlah, semoga dia tidak bangun saat aku sedang shalat. Aku takut menganggunya, dia pasti sangat lelah menjadi panitia ospek ini. Aku bertayyamum diikuti ketiga temanku dan mencoba mengatur jarak agak sedikit jauh dari Kak Putra.

Rabbi, maafkan aku yang shalat dalam keadaan seperti ini. Aku berjanji besok tidak akan aku ulangi. Terimalah shalat ini.

Sampailah aku pada rakaat ke 4. Saat mau bangkit dari sujud, kepalaku mengenai sesuatu dibelakang kursiku. Aku sadar punggungku mengenai kepala Kak Putra yang tidak sengaja jatuh lagi ke kanan. Aku merasa aku sudah membangunkannya. Tapi aku coba tidak pedulikan dulu. Aku masih punya satu rakaat yang harus kuselesaikan.

Shalatku akhirnya selesai. Saat aku bertasbih, aku iseng hanya sekedar menatap tangan kak Putra. Memastikan apa dia bangun saat terkena punggungku tadi. Tangannya bermain. Jempolnya saling tindih berganti. Tepat, ia terbangun saat aku menyelesaikan shalat di rakaat keempat. Aku jadi tidak keenakan. Tapi gakpapalah. Setidaknya itu bisa jadi bahan evaluasi untuk memberikan waktu shalat ke adik-adiknya, masak sampai setega itu melihat adiknya shalat di bis yang terus bergoyang? Aku dapat memastikan, selain kak Putra yang melihatku shalat, empat kating yang duduk didepan juga melihatku shalat. Dan aku yakin juga, jika memang dia Muslim, hatinya pasti terenyuh.

Alhamdulillah setelah perjalanan panjang, aku tiba dirumah. Aku rebahkan sebentar badanku yang rasanya hanya tinggal tulang saja. Daging, lemak beserta air mineral sudah habis terkuras saat ospek tadi.
Setelah aku shalat, aku ingat tugas yang diberikan katingku. Mencari kakak asuh. Mencari kating yang belakang NIM nya sama dengaku di angkatan 2011 kampus Paelmbang. Tidak susah aku menemukan kakak asuh ku, alhamdulillah dia perempuan, berjilbab pula. Namanya kak Oktaviani. Tapi wajah kakak ini belum pernah aku lihat di deretan panitia yang hadir selama kami ospek. Langsung terbesit sesuatu entah kenapa aku tiba-tiba kepikiran lelaki itu. Iya aku kepikiran Kak Putra. Aku ‘iseng’ search nama dia di list Mahasiswa Kampus Indralaya tahun 2011. Yes Ketemu. Aku langsung mengklik fotonya, mengetahui identitas aslinya. Aku penasaran dari mana ia berasal.

Aku terpaku di layar monitor. Mataku rasanya ingin keluar. Hatiku mau meleleh. Mukaku benar-benar heran. Satu kenyataan yang sampai saat ini belum bisa aku terima ialah ternyata Kak Putra beragama Protestan. Non Muslim. Aku telah tertipu dengan wajah ke’islam’annya, aku telah tertipu dengan pengetahuannya yang tahu waktu tepat shalat Ashar, aku tertipu dengan kebaikan hatinya. Dan hingga saati ini, rasa ‘nyeees’ ini kunamai ‘Rasa Sesak yang Salah’